

SARGA.CO - Memenangkan satu balapan Grade 1 saja sudah cukup untuk mengangkat nama seekor kuda ke jajaran elite. Tapi menaklukkan tiga balapan paling bergengsi dalam satu musim? Itu bukan sekadar prestasi, tapi sejarah.
Di dunia pacuan kuda, Triple Crown adalah puncak kejayaan. Sebuah mahkota tak kasat mata yang hanya bisa dikenakan oleh segelintir kuda istimewa. Tidak berlebihan jika banyak orang menyebutnya sebagai pencapaian lebih langka dari emas.
Dalam balapan klasik seperti di Amerika Serikat, gelar Triple Crown diberikan kepada kuda yang berhasil menjuarai tiga balapan utama: Kentucky Derby (1.600 m), Preakness Stakes (1.900 m), dan Belmont Stakes (2.400 m), dengan masing-masing digelar hanya selang beberapa bulan. Ini bukan hanya soal kecepatan, tapi juga daya tahan, strategi, dan ketahanan mental.
"Setiap kuda punya spesialisasi. Ada yang kuat di sprint, ada yang tangguh di jarak menengah. Tapi Triple Crown menuntut semuanya," ujar James Howard, analis pacuan kuda dari Racing Global Network.
SARGA.CO
Kesulitan terbesar bukan hanya terletak pada lawan di lintasan. Justru yang paling berat adalah mempertahankan performa puncak dalam waktu yang sangat sempit.
Pelatih top seperti Ricky Yiu, yang baru saja mengantarkan Voyage Bubble jadi juara Triple Crown di Hong Kong (2025), menyebut tantangan utama bukan hanya dari sisi teknis.
“Setelah menang di balapan pertama, semua mata tertuju padamu. Setiap langkah, setiap latihan, jadi sorotan. Tekanan itu luar biasa,” ujar Yiu.
Dan jangan lupa, sambung Yiu, kuda juga bisa cedera, stres, bahkan kehilangan nafsu makan hanya karena perubahan cuaca.
Di Amerika Serikat, dari lebih dari 150 tahun sejarah Kentucky Derby, hanya 13 kuda yang pernah meraih Triple Crown, terakhir adalah Justify pada tahun 2018. Di Hong Kong, hingga 2025, baru dua kuda yang berhasil mencatatkan namanya: River Verdon (1994) dan Voyage Bubble (2025).
Artinya, peluangnya kurang dari 1% bahkan bagi kuda-kuda terbaik sekalipun.
Meski hadiah uang besar menanti, seperti bonus HK$10 juta di Hong Kong atau US$3 juta di Kentucky, Triple Crown bukan hanya soal ekonomi. Ini soal penghormatan abadi.
"Kalau kamu menang satu balapan, orang akan mengingatmu. Tapi kalau kamu Triple Crown, orang akan menuliskan namamu dalam buku sejarah. Itu warisan," kata Steven Mason, private banker yang menangani klien pecinta kuda.
Mimpi yang Terus Hidup
Meski peluangnya tipis, mimpi menjadi juara Triple Crown tak pernah padam. Setiap musim, ribuan kuda dilatih, dipersiapkan, dan dijalankan di atas lintasan dengan satu tujuan: menjadi legenda.
"Anda tidak melatih kuda juara Triple Crown. Anda hanya bisa berharap semua bintang berpihak," ujar pelatih legendaris Bob Baffert.
Karena di dunia pacuan kuda, kemenangan mungkin datang sekali seumur hidup, tapi keabadian itu hanya untuk mereka yang mampu menaklukkan ketiganya.
Di Indonesia, gelar bergengsi Triple Crown baru berhasil diraih oleh dua kuda: Manik Trisula pada 2002 dan Djohar Manik pada 2014.
Kini, King Argentine siap menorehkan sejarah sebagai kuda ketiga yang menyabet gelar Triple Crown Indonesia
Kuda andalan milik King Halim Stable ini telah memenangkan Serie 1 pada April dan Serie 2 di bulan Mei, membuatnya hanya selangkah lagi dari pencapaian bersejarah.
Jika berhasil menaklukkan Kejurnas Serie 1 Indonesia Derby pada Juli 2025, maka nama King Argentine akan abadi dalam sejarah pacuan kuda Tanah Air.
Dari lintasan balap ke layar anime dan game.
Baca SelengkapnyaSmart Falcon adalah nama yang disegani di lintasan pacuan, terutama di kategori dirt racing.
Baca SelengkapnyaAda satu keunggulan penglihatan kuda dibandingkan manusia
Baca SelengkapnyaInstall SARGA.CO News
sarga.co