

SARGA.CO - Bagi Jendri Turangan, kisah pacuan kuda bukan sekadar tentang siapa yang tercepat di lintasan. Ini tentang ikatan. Tentang bagaimana sepasang makhluk—manusia dan kuda—berlari bukan hanya dengan tenaga, tapi dengan kepercayaan dan kehendak yang menyatu.
Nama Djohar Manik kini abadi dalam sejarah pacuan kuda Indonesia. Ia bukan hanya seekor kuda pacu, tetapi legenda hidup yang sempat mengisi kekosongan gelar Triple Crown selama lebih dari satu dekade. Bersama Jendri, Djohar menuliskan cerita luar biasa—kisah keajaiban dari lintasan dan ketulusan dari kandang.
Jendri mengawali kariernya sebagai joki nasional pada Kejurnas 2006 di Pulomas, Jakarta. Membesut kuda Pitulikur, ia langsung meraih gelar joki terbaik. Prestasi itu terus berulang: 2010, 2012, dan 2014. Tapi yang paling membekas di hatinya? Saat pertama kali menunggangi Djohar Manik.
“Perdana naik, langsung menang. Kudanya pintar banget. Seperti paham isi hati saya,” kenang Jendri. Sejak saat itu, Jendri tak hanya mengendalikan Djohar dari atas pelana, tapi seperti berdialog dalam keheningan antara dua jiwa yang saling memahami.
Perjalanan menuju Triple Crown 2014 adalah kisah yang layak masuk buku sejarah. Dari balapan 1.200 meter hingga 1.600 meter, Djohar Manik nyaris tak tersentuh. Ia selalu berada jauh di depan, meninggalkan lawan-lawan seperti bayangan yang tertinggal. Namun, keajaiban sebenarnya terjadi di partai puncak: Indonesia Derby. Start dari posisi ke-11, jauh di belakang. Bagi banyak joki, ini mimpi buruk. Tapi tidak untuk Jendri dan Djohar.
“Saya seperti bicara sama Djohar, 'jangan panik, jangan emosi'. Dia mengerti,” tutur Jendri.
Dalam 600 meter terakhir, Djohar melejit dari belakang dan menyentuh garis finis pertama. Seisi lintasan bersorak. Sebuah kemenangan yang nyaris mustahil.
Kemenangan itu menjadi tonggak emas. Djohar Manik menyusul Manik Trisula (2002) sebagai kuda kedua dalam sejarah Indonesia yang meraih Triple Crown. Tapi seperti kisah legenda lainnya, akhir pun datang.
Tahun 2024, Djohar Manik yang sedang bunting terserang penyakit laminitis. Ia berpulang, membawa serta kejayaan dan meninggalkan kehampaan—karena sejak kemenangannya, mahkota Triple Crown belum kembali berpindah tangan.
“Saya rindu Djohar. Entah berapa tahun lagi saya bisa punya kuda seperti itu. Dia sangat istimewa,” ucap Jendri dengan mata berkaca.
Warisan yang Tak Tergantikan
Kini, Jendri melanjutkan hidup sebagai pelatih di Tombo Ati Stable, mewariskan semangat dan pengetahuan kepada joki-joki muda. Tapi di sudut hatinya, Djohar Manik akan selalu menjadi simbol dari kemurnian olahraga pacuan kuda: keberanian, kepercayaan, dan cinta.
Sementara itu, Triple Crown tetap menjadi puncak tertinggi. Seolah menunggu hadirnya pasangan baru—kuda dan joki—yang bisa menorehkan cerita seindah Jendri dan Djohar.
Berikut detail 18 kelas yang akan dipertandingkan pada Indonesia Derby 2025, 27 Juli mendatang.
Baca SelengkapnyaMenanti sang kuda legenda peraih triple crown.
Baca SelengkapnyaInstall SARGA.CO News
sarga.co