

SARGA.CO - Setiap peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat Kabupaten Aceh Tengah menyuguhkan sebuah tradisi yang begitu mendebarkan sekaligus memukau: Pacu Kude, atau pacuan kuda tradisional tanpa pelana.
Lomba ini bukan sekadar ajang balap kuda, tapi juga menjadi warisan budaya penuh makna yang telah mengakar di tanah Gayo selama lebih dari satu abad.
Tak heran, Pacu Kude selalu berhasil menyedot perhatian puluhan ribu penonton, baik dari dalam maupun luar daerah.
Pacu Kude diyakini lahir sekitar tahun 1850 di Bintang, kawasan timur Danau Lut Tawar. Awalnya, tradisi ini digelar seusai panen padi sebagai bentuk syukur masyarakat Gayo.
Rutenya pun masih sederhana, lintasan lurus membentang sejauh 1,5 kilometer, jauh dari lintasan oval modern yang kini digunakan.
Dahulu, tak ada hadiah mewah. Para pemenang hanya mendapat “Gah”—kehormatan dan nama baik di mata masyarakat. Bahkan, joki pada masa itu wajib bertelanjang dada saat berlaga, simbol keberanian dan sportivitas sejati.
Pacu Kude kemudian berkembang pesat. Pada masa kolonial Belanda, lomba ini dipakai untuk memeriahkan ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Hadiahnya? Sebuah jam beker. Sejak itulah, kuda juara disebut Kuda Beker. Jika pemenangnya kuda betina, masyarakat menyebutnya Kude Dompet.
Seiring waktu, lintasan pacu berpindah dari jalanan kota Takengon ke Gelengang Musara Alun, dan kini ke Lapangan H. Muhammad Hasan Gayo Belang Bebangka di Pegasing.
Pesertanya pun kian beragam, datang dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, hingga Sumatera Utara. Bahkan, acara ini menjadi daya tarik wisata mancanegara.
Sejalan dengan perkembangan zaman, Pacu Kude terus bertransformasi. Jika dulu start dilakukan manual dengan aba-aba dan bendera, kini digunakan starting gate untuk menghindari keributan.
Joki yang awalnya menunggang tanpa pelana, kini mulai mengenakan pelana dan alat pengaman, terutama di kelas A yang diisi kuda-kuda blasteran Australia-Gayo atau “Astaga” yang posturnya tinggi dan larinya lebih kencang.
Setiap lomba dimulai dengan pekikan khas, “Wasaluaaaaaleee!” yang menggema di seluruh arena, menjadi isyarat bagi kuda untuk melaju kencang dan penonton untuk tetap waspada.
Pada 2016, Pacu Kude resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia. Kini, tradisi ini tak hanya menjadi bagian dari perayaan HUT RI, tapi juga HUT Kota Takengon dan hari jadi kabupaten di Gayo. Sebuah bukti bahwa budaya lokal bisa hidup dan berkembang menjadi simbol kebanggaan nasional.
Berikut detail 18 kelas yang akan dipertandingkan pada Indonesia Derby 2025, 27 Juli mendatang.
Baca SelengkapnyaMenanti sang kuda legenda peraih triple crown.
Baca SelengkapnyaInstall SARGA.CO News
sarga.co