SARGA.CO - Di dunia pacuan kuda Indonesia, banyak nama datang dan pergi. Namun hanya sedikit yang bertahan sebagai legenda. Di antara nama-nama besar itu, ada satu sosok yang kisahnya paling menggetarkan hati para pecinta kuda pacu: Saud, kuda jantan G3 kelahiran 23 Februari 2004, yang menempuh perjalanan karier dari kuda “biasa saja” menjadi salah satu kuda terkuat dalam sejarah pacuan Indonesia.
Saud, anak dari pejantan Soputan Tulen dan induk Sabena, tidak lahir sebagai favorit. Di kelas pemula, ia sering tertinggal jauh. Penonton, pemilik stable, bahkan para analis pacuan kuda tidak menaruh harapan besar padanya.
Puncak keraguan itu muncul di Indonesia Derby 2007, ketika Saud kembali gagal meraih juara, kali ini dikalahkan oleh Brave Heart hanya selisih 1 kepala. Kekalahan tipis itu seolah menegaskan bahwa Saud bukanlah kuda besar seperti yang diharapkan. Namun, justru setelah Derby-lah kisah sesungguhnya dimulai.
Setelah Derby, Saud berubah. Perlahan, performanya meningkat. Dari kuda yang selalu dikalahkan, ia menjelma menjadi kompetitor yang tak bisa diabaikan.
Pada masa jayanya, Saud bahkan mendapat julukan “Sang Maestro Lintasan.” Julukan itu bukan sekadar pujian. Statistiknya berbicara. Dengan total balapan: 63 kali, kemenangan: 39 kali, runner-up: 19 kali dan Posisi 3 besar, hampir selalu.
Pada ajang Stars of Stars, Saud menang 5 kali berturut-turut, sebuah rekor yang belum pernah dipatahkan. Hal serupa juga terjadi pada ajang Piala Raja Hamengku Buwono X, Saud mencetak tiga kemenangan beruntun, rekor yang masih sulit ditandingi hingga kini. Saud mulai menjadi momok bagi kuda-kuda papan atas. Setiap ia turun lintasan, hanya sedikit kuda yang berani menantangnya.
Di masa kejayaannya, hanya satu kuda yang benar-benar bisa menandingi Saud: Tuan Nagari. Duel keduanya di Minang Derby 2012 menjadi salah satu pacuan paling dikenang penggemar kuda. Tuan Nagari memberikan perlawanan sengit, menyusul sangat dekat sampai akhirnya Saud menang, lagi-lagi hanya dengan selisih 1 kepala.
Namun duel paling ikonik terjadi di Kejurnas Seri 1 tahun 2014, kelas 2.000 meter. Kuda-kuda lain seperti hanya menjadi latar belakang, karena Saud dan Tuan Nagari langsung melesat jauh di depan, bahkan meninggalkan posisi ketiga sejauh 15–19 panjang kuda, hal yang nyaris tak pernah terjadi dalam pacuan modern Indonesia.
Di usia 10 tahun, Saud mencetak rekor waktu 2 menit 6 detik, menang 3–4 panjang kuda dari Tuan Nagari dan 14 panjang dari posisi ketiga. Prestasi yang sulit dipercaya untuk seekor kuda yang sudah senior.
Karier Panjang Tak Tertandingi
Saud bukan hanya hebat, dia awet bertarung. Ia memulai karier sekitar 2006/2007, dan melawan generasi demi generasi: Djohar Manik, Red Silenos, Tuan Nagari, dan banyak kuda muda unggulan lainnya
Pada Kejurnas 2017, pada usia 13 tahun, Saud masih mampu memberi perlawanan keras pada generasi baru, meski akhirnya finish keempat, salah satu dari sedikit momen ia gagal masuk tiga besar.
Yang lebih mencengangkan, pada usia 17 tahun, ketika sebagian kuda sudah lama pensiun, Saud masih mampu menang dalam sebuah pacuan di Bantul tahun 2021. Sebuah bukti betapa luar biasa fisik dan mentalnya.
Hingga kini, rekor kemenangan dan konsistensi Saud belum bisa disamai, bahkan oleh kuda-kuda besar seperti Djohar Manik.
Akhir Karier yang Tenang: Dari Maestro Menjadi Sahabat Berkuda
Kini Saud telah pensiun dan menikmati hari tuanya sebagai kuda tunggang. Ia mungkin tak lagi melesat seperti dulu, namun legenda tentangnya tetap hidup di setiap cerita yang dibagikan oleh penggemar pacuan kuda.
Dari kuda yang dulu diremehkan, hingga menjadi yang terkuat dalam sejarah, perjalanan Saud adalah kisah inspiratif tentang kegigihan, ketahanan, dan keajaiban yang hanya bisa terjadi di dunia pacuan kuda.
Saud bukan sekadar pemenang. Ia adalah ikon. Ia adalah maestro. Ia adalah legenda yang tak tergantikan di lintasan Indonesia.
(Sumber: FB IGUTIULS, Studbook.or.id)
Install SARGA.CO News
sarga.co