

SARGA.CO - Dikenal luas sebagai kuda pacu Jepang yang tidak pernah menang dari 113 kali balapan, Haru Urara justru menjadi simbol keteguhan hati dan harapan bagi masyarakat Jepang. Namun di balik kisah manis tentang “semangat pantang menyerah” itu, tersembunyi kenyataan getir: kisah tentang eksploitasi, ketelantaran, dan penyelamatan yang terlambat.
Pada Selasa, 9 September 2025, Haru Urara menghembuskan napas terakhirnya di Martha Farm, Chiba. Ia meninggal karena kolik, gangguan pencernaan serius yang kerap mengancam nyawa kuda. Usianya 29 tahun—panjang untuk seekor kuda, namun pendek bila melihat betapa keras hidup yang ia jalani.
Lahir dari Darah Juara, Tapi Tak Pernah Dianggap
Haru Urara bukan kuda sembarangan. Ia adalah anak dari Nippo Teio, juara balap nasional, dan cucu dari Nijinsky, kuda legendaris dari garis darah Inggris. Secara genetik, ia ditakdirkan menjadi pemenang.
Tubuhnya kecil—tak sampai 400 kilogram. Ia penakut, mudah panik, dan tidak fokus—sifat yang sangat tidak ideal untuk seekor kuda pacu. Tak ada yang mau membelinya saat pelelangan. Akhirnya, ia dibawa ke lintasan kelas bawah di Kochi, tempat di mana ia memulai debut pada 17 November 1998. Haru Urara langsung finis terakhir, mengawali rentetan kekalahan yang seolah tak berujung.
Haru Urara bukan hanya gagal di lintasan, tapi juga terperangkap dalam sistem yang kejam. Ia dipaksa berlari dalam jadwal padat, hingga 20 kali dalam setahun. Bukan demi mengejar kejayaan, melainkan demi menutup biaya perawatan sebesar 1,3 juta yen per tahun. Uang tampil sebesar 60.000 yen per balapan menjadi satu-satunya alasan ia terus dipertahankan.
Bahkan saat Haru Urara menderita penyakit kuku parah, hingga kukunya nyaris membusuk, ia tetap dipaksa bertanding. Ketika peternakan asalnya ingin memensiunkan Haru pada 2003, pelatihnya menolak dan justru mencarikan pemilik baru. Baginya, Haru masih bisa “berlari selagi mampu.” Padahal, setiap langkah Haru di lintasan adalah langkah menuju luka yang lebih dalam.
Ironi yang Menjadi Fenomena Nasional
Di tengah penderitaan itu, Haru Urara justru menarik perhatian seorang penyiar bernama Koji Hashiguchi. Ia mengangkat kisah Haru sebagai narasi “pecundang yang tak menyerah”, simbol bagi masyarakat Jepang yang saat itu dilanda resesi dan keputusasaan.
Cerita itu menyentuh hati publik. Haru Urara menjadi fenomena. Suvenir laris terjual, penonton membanjiri arena, dan bahkan joki ternama Yutaka Take diminta untuk menungganginya dalam satu balapan ikonik di tahun 2004. Meskipun Haru kembali kalah, momen itu menjadi bukti bahwa kegigihan bisa lebih berharga dari kemenangan. Haru Urara bahkan disebut sebagai “bintang para pecundang”, ikon bagi siapa pun yang pernah gagal, tapi tetap memilih untuk melanjutkan hidup.
Namun, gemerlap popularitas tak bertahan lama. Setelah pensiun, Haru Urara berpindah tangan ke pemilik baru, Mihoko Anzai. Dalam beberapa tahun, ia ditelantarkan di Martha Farm. Tidak ada biaya perawatan. Tidak ada perhatian. Pihak peternakan nyaris menyuntik mati Haru karena tidak mampu membiayainya.
Ironis: seekor kuda yang pernah menyelamatkan arena pacuan dari kebangkrutan, kini sendiri dalam kesunyian.
Namun publik kembali hadir untuknya. Ketika kondisi Haru diumumkan ke publik, gelombang dukungan mengalir. Donasi datang dari seluruh Jepang. Sebuah organisasi bernama Haru Urara’s Group didirikan untuk menjamin kesejahteraannya hingga akhir hayatnya.
Akhir yang Damai, Setelah Hidup yang Penuh Luka
Pada Senin, 8 September 2025, pengasuhnya, Yuko Miyahara, curiga ketika Haru tak buang air besar—gejala awal kolik. Dokter hewan dipanggil dan mendampingi Haru semalaman. Tapi pada pagi hari, Haru Urara pergi untuk selamanya.
“Dia meninggal dalam damai,” kata Yuko. “Dia bukan kuda biasa. Dia adalah teman, simbol, dan inspirasi.”
Lebih dari Seekor Kuda: Sebuah Simbol
Kisah Haru Urara bukanlah dongeng manis tentang keberanian semata. Ini adalah cermin dari dunia yang sering kali kejam pada mereka yang dianggap tidak cukup baik. Tapi Haru tidak pernah berhenti. Ia terus berlari, bukan karena ingin menang, tetapi karena tidak punya pilihan lain.
Dan justru di sanalah letak kekuatannya. Di dunia yang memuja pemenang, Haru Urara mengajarkan bahwa kegagalan bukanlah akhir. Bahwa bahkan sosok yang terus jatuh, bisa menjadi cahaya bagi banyak orang.
Kini, Haru Urara telah tiada. Tapi jejak langkahnya akan terus terdengar—di lintasan, di hati, dan dalam ingatan semua orang yang pernah merasa kalah, tapi tetap memilih untuk bertahan. (Sumber: Kaori Nusantara)
Install SARGA.CO News
sarga.co